Institut Agama Kristen Negeri Tarutung
Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

“Kalau ke Jakarta, dari mana duitnya?”

Gempa susulan 3.0 SR itu pun membuyarkan perhatian anak-anak saat mendengarkan Firman Tuhan yang dibawa oleh Bapak Andrianus Nababan di Desa Situmeang-Habinsaran, Kecamatan Sipoholon, Tapanuli-Utara, Sabtu (15/10/2022). Kegiatan trauma healing dari IAKN Tarutung itu diikuti oleh 178 anak. Beberapa anak yang duduk di kelas  4 SD merespon dengan cepat. Mereka segera berdiri dan hendak meninggalkan persekutuan. Berlari merupakan respon alamiah dari mekanisme tubuh untuk menyelamatkan diri dari situasi yang mengancam. Tidak demikian halnya dengan sebagian besar anak-anak yang belum bersekolah hingga kelas 3 SD. Mereka tetap dalam posisi duduk, tidak beranjak, dan menunggu arahan dari kakak-kakak serta orangtua yang mendampingi.

Dari pengamatan Peter Levine yang mendalami teori tentang trauma, diungkapkan tiga respon alamiah manusia ketika ancaman datang: diam, melawan, dan lari. Peristiwa gempa itu menyisakan “diam”. Itulah yang disebut oleh Levine dengan trauma. Apakah fenomena tidak segera beranjak dan menyelamatkan diri dari sebagian besar anak-anak yang mengikuti kegiatan trauma healing ini memperlihatkan bahwa sebagian besar dari anak-anak masih mengalami trauma? Apakah mereka mengalami apa yang disebut Sindrom Stockholm?

Sindrom Stockholm merupakan respon simpati korban kepada pelaku penculikan/penyanderaan. Namun Levine melihat sisi lain dari sindrom ini. Para sandera/tawanan memperlihatkan perilaku pasif saat hendak dibebaskan dari situasi penyanderaan mereka. Mereka akan bergerak jika diperintah secara berkali-kali untuk melakukannya. Ini artinya, ada orang yang memiliki power lebih kuat dari diri mereka untuk mengarahkan mereka bertindak.

Jika demikian halnya, dapat dikatakan, terdiamnya sebagian besar anak-anak kala gempa susulan itu terjadi memperlihatkan residu ketakutan yang belum bebas/lepas dari peristiwa gempa sebelumnya. Saya menyimpulkan sebagian besar anak-anak masih trauma.  Hal ini tampak ketika anak-anak dibagi dalam kelompok sharing. Mereka diajak untuk membagi cerita tentang situasi yang dialami saat gempa terjadi dan  perasaan mereka saat ini. Sebagian besar dari mereka enggan untuk bercerita, terdiam, bahkan hingga sesi sharing berakhir.

Saya mengamati beberapa anak yang mau meninggalkan persekutuan saat gempa susulan terjadi, terlihat lebih rileks di saat sharing kelompok berlangsung. Mereka mampu menertawakan perilaku unik saat gempa di tanggal 1 Oktober 2022 itu. Mereka mampu tertawa lepas. “Aku  mau pindah ke Jakarta, karena di Jakarta tidak ada gempa … tapi kalau ke Jakarta, dari mana duitnya?” kenang Iqbal Situmeang. Ayahnya tertawa mendengar permintaannya itu. “Iya, duitnya dari mana?” ayahnya menimpali. (Melinda Siahaan)