Institut Agama Kristen Negeri Tarutung
Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Anak-anak dan Memori Gempa

Bagaimana anak-anak mengingat gempa? Adakah trauma terselip di keriangan mereka bermain? Adakah gempa mengubah mereka dalam bertindak?

Tiga ratus lima puluh anak. Suara mereka menggelegar. Mereka hempaskan seluruh keriangan dalam teriakan. Mereka bernyanyi. Mereka meneriakkan yel-yel. Mereka menyerap semua ruang bunyi yang ada di sana, lalu dilepaskan sedemikian sehingga penuhlah pekarangan Gereja Katolik Santo Ambrosius Aek Raja dengan kegembiraan.

 

Sudah tiga hari Tim Trauma Healing Shalom IAKN Tarutung mendatangi desa-desa terdampak gempa di Tapanuli Utara. Selama tiga hari Tim mengumpulkan ‘memori gempa’. Tim mengkhususkan mencari informasi itu dari anak-anak. Anak-anak diajak bermain, menyanyi, menggambar, dan bercerita. Tim juga memberikan pengetahuan dasar tentang gempa.

 

Cerita hari ini, Rabu (12/11/2022), tidak berbeda jauh dengan cerita dua desa sebelumnya. Anak-anak sudah berkumpul sebelum Tim tiba. Tidak sedikit dari mereka berpakaian layaknya berbusana ke gereja. “Itu permintaan mereka,” kata Ibunya, yang ikut menemani dua orang anaknya.

Mereka kemudian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan umur: kelompok umur 10 hingga 12 tahun dan kelompok 5 hingga 11 tahun. Kelompok kedua diajak bermain games dan bernyanyi. Kelompok pertama dipecah menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok didampingi seorang mahasiswa. Mereka kemudian diminta menuliskan cerita pengalaman mereka dengan gempa.

Inilah cerita Rennauli Simamora, anak kelas VI sekolah dasar.

“Waktu itu saya demam dan tiba-tiba gempa datang. Dan aku tidur sama mama. Dan terus lemarinya jatuh dan aku dan kena timpa. Setelah lemari diangkat, aku langsung lari dan saya terjatuh karena pusing. Kami tidur di luar kedinginan. … Saya sangat sedih karena ayah saya luka di bagian mata atas karena tertimpa televisi.”

 

Cerita desa Aek Raja sesungguhnya tidak semata cerita anak-anak, namun juga kisah tentang orangtua mereka. “Kami sudah mengalami gempa tahun 1987,” ujar Inang boru Sihombing yang menemani cucunya. “Namun, saat gempa terjadi kami panik karena saat itu cucu-cucu saya tidur di rumah,” tambahnya. Inang boru Sihombing menemani cucunya karena orangtua mereka sedang bekerja di ladang. Ia pun ikut bernyanyi ketika anak-anak sedang bernyanyi. Ia pun ikut menggoyangkan badannya mengikut irama lagu. Ia duduk tidak jauh dari cucunya.